Next to me // Monday, June 23, 2014
8:08 AM |
Bukannya aku
tidak mau bersama orang lain, tetapi aku hanya ingin sendiri. Menatapi jendela
bus, mendengar teman-temanku yang sedang bercanda, sesekali mata terpejam.
Tidak ada yang lebih damai dari ini semua.
Ketenangan
yang selama ini kurasakan tiba-tiba hancur karena kau tiba-tiba datang duduk di
sebelahku. Kau menggunakan jaketmu, bukan berarti aku tidak bisa mencium bau
itu—bau
rokok itu.
“Aku tidak
butuh didampingi.”
“Aku tahu.”
Kau tersenyum
jahil, kurasa hanya dengusan yang pantas kau dapatkan. Kualihkan pandanganku
kembali ke jendela. Aku tidak mengerti mengapa kau memilih duduk di sampingku,
padahal masih banyak bangku kosong lainnya. Aku duduk di kursi paling belakang, dimana sangat sempit, dan
tidak nyaman. kau memang benar-benar aneh, tak pernah kumengerti jalan
pikiranmu.
“Hey.” Sunggutku saat Kurasakan kepalamu sudah bersandar di bahuku.
Tak ada jawaban.
Aku mencoba melihat wajahmu. Ternyata kau tertidur dengan pulasnya. Membuatku
tidak bisa bergerak lagi. Mencoba mencubit pipimu pun percuma, kau tidak
terbangun. Akhirnya pandanganku teralih pada bulu matamu yang panjang dan
lentik, membuatku mengetahui salah satu kelebihanmu, diluar ketampananmu.
“Sekarang kau
mengerti betapa tampannya aku.”
Aku terkejut
bukan main, begitu tahu aku tertangkap basah sedang memandangimu lekat-lekat.
Tak bisa kusembunyikan ekspresi malu-ku, dan tidak bisa kuhentikan salah
tingkahku.
“Wajah malumu
sangat manis.”
“Aku tidak
manis!”
“Kau sangat
manis! Seandainya aku bisa memakanmu, aku akan memakanmu di sini, sekarang—juga.”
Kali ini
perkataanmu yang membuatku kaget maupun bingung. Aku tidak mengerti maksudmu,
tapi aku tahu kau serius dengan perkataanmu. Tidak lagi bisa kutemukan senyum
jahilmu. Yang kupandang sekarang adalah benik matamu yang seolah menelusuriku
dalam-dalam. Membuatku terdiam membeku, namun siap untuk meleleh kapan saja.
“Lalu apa yang
kau inginkan dariku? Apa? Apa?”
Aku mulai
kehilangan kendali, terperangkap oleh mata itu, bahkan kedua pergelanganku
sudah terkepung oleh jemari-jemarimu. Kehilangan kendali bukanlah hal yang
biasa kulakukan.
“Aku ingin kau
melepaskan semuanya! Keluarkan! Buang!”
Bagai es di kutub
utara yang dihantam asteroid, aku meleleh, melebur, hancur, kukeluarkan
semuanya. Kubuang semua perasaan hitam—kotor yang selama ini menghantuiku.
Aku sudah benar-benar kehilangan kendali.
Aku menangis
semakin keras dan meronta semakin hebat. Tapi kau tetap disini, mendekapku semakin
erat. Bisa kudengar bisikanmu yang lembut dan menenangkan sehingga aku bisa
dengan perlahan mereda. Hanya terdengar suara isak dariku, dan aku tahu dengan
pasti semua orang memandangi kau dan aku. Aku sudah tidak peduli.
“Semuanya
meninggalkanku.”
“Aku tidak
akan meninggalkanmu.”
“Kau bohong!
Kau juga akan meninggalkanku!”
“Tidak! Aku
tidak akan meninggalkanmu! Aku janji!”
Suaramu meninggi,
dan bergetar. Membuatku kembali diam dan mendengar bisikanmu lagi. Tak ada lagi
perasaan takut itu. Takut yang selama ini terkubur dalam jiwaku. Tak pernah
kuungkapkan, tak pernah kulupakan.
“Selamanya...
aku janji.. akan selalu di sampingmu.”
Kembali, yang
terdengar hanya suara isak tangisku. Kehilangan berkali-kali sudah membuatku
hancur, rusak, lemah. Tapi kau datang kembali mengisi segala kekosongan ini. Kau
memelukku semakin erat, membuatku sesak, namun merasa aman, tentram. Aku percaya.
Aku percaya padamu. Kau akan selalu ada di sampingku.
Labels: My Story, stories, Words |