ABOUT LINKS CHAT
about


I write to give myself strength. I write to be the characters that I am not. I write to explore all the things I'm afraid of. I write to catch my Dreams :)


Jendela // Monday, March 3, 2014
9:03 AM

Berawal dari jendela.

Aku tidak akan pernah lupa kenangan yang sudah ada yang diawali dari jendela kaca tanpa teralis di kamarku ini. Kaki mungilnya dengan lincah melompat ke atap rumahku. Mengetuk pelan jendela kamarku, membuatku terkejut bukan main. Untuk pertama kalinya aku melihat manusia bertengger di jendela kamarku.
“Hai, aku membawa manju kelinci!” Tangannya terbuka, manju kelinci mungil berada di tengah-tengah telapak tangannya. Ia menjulurkannya padaku, aku mengambil manju itu ragu-ragu. Benik cokelatnya memperhatikan wajahku. Dari ekspresinya aku tahu dia menunggu aku memakannya. Kugigit sekali manju kelinci itu, lalu menghabiskannya dalam dua kali suap. Aku menghabiskannya dengan susah payah, karena aku sudah makan malam, dan aku harus menggosok gigiku lagi gara-gara gadis asing ini.
“Enak bukan? Itu tanda pertemanan. Namaku Sora, baru pindah hari ini! Kamarku tepat di depan kamarmu.” Tangannya menunjuk ke arah ia datang tadi. Jendela besar yang terbuka, berada tepat  di depan jendelaku. Aku memang tahu keberadaan jendela itu sebelum dia datang, Karena hanya jendela itu satu-satunya pemandangan yang bisa kulihat dari jendela kamarku.
“Besok kita main ya!”
Aku terdiam memandanginya. Bingung, heran, dan kagum. Aku tidak pernah seberani itu masuk kerumah orang tanpa izin lalu membuat keputusan sendiri tanpa persetujuan dengan orang yang bersangkutan.
“Oh, besok kubawakan kue manju lebih banyak!”
Senyumnya terkembang ke arahku. Lalu dengan lincah dia kembali ke kamarnya. Sebelum ia menutup jendelanya, ia melambai padaku. Tidak kubalas.
Gadis aneh.

***

“Hoshi! Bisakah kau lebih cepat?”
Sora menepuk-nepuk pundakku tak sabar. Aku mendengus, tetapi aku tetap menuruti perintahnya dengan mengayuh sepedaku lebih kuat. Hingga rasanya aku tak bisa merasakan lagi kakiku. Sora mempererat pegangannya dipinggangku, biasanya aku akan merasa geli, tapi kali ini tidak.
“Hoshi? Kau marah?” Suaranya pelan tapi aku masih bisa mendengarnya. Aku menggeleng, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Seharusnya dia tahu sejak awal. Dia terlalu naif. Dan aku tahu dia memang gadis egois, kekanakan, dan tidak peka.
Aku tidak pernah merasa aku tidak membutuhkan Sora. Sekalipun dia yang selalu menyusahkanku. Ketika dia menangis, karena ayahnya membentaknya. Ketika tanpa sebab dia dijauhi oleh teman-teman perempuannya. Atau ketika dia patah hati. Dia akan melompat ke atap rumahku dan masuk tanpa izin ke kamarku. Jika aku tak ada di sana, dia akan naik ke ranjangku dan membungkus dirinya dengan selimutku. Sambil menangis tersedu-sedu, menungguku kembali. Yang kulakukan hanya mengelus puncak kepalanya, lalu tangisnya akan berhenti. Aku tidak pernah menggunakan mantra atau semacamnya. Tetapi cara ini selalu berhasil. Aku tahu dia membutuhkanku pada saat-saat seperti itu.
Aku membasuh mukaku di kran pinggir lapangan. Membersihkan semua keringat beserta debu yang mulai lengket di wajahku. Kakiku masih gemetar dengan sendirinya, membuatku agak sulit berjalan. Aku mencari tempat duduk untuk meregangkan otot-ototku yang tegang karena dipaksa bekerja keras secara tiba-tiba─saat duduk itulah, aku mendengar suara.
“Kau? Tidak biasanya kau di sini.” Aku mencari asal suara tersebut. Seorang anak laki-laki menggunakan kaos bola yang basah karena keringat, dan handuk menggantung di lehernya berjalan ke arahku. Tangannya memegang dua botol minuman ber-ion. Ia melemparkan salah satunya padaku. Tora Kagami─teman sekelasku.
Aku menunjuk ke arah Sora yang sedang berdiri di pinggir lapangan, sambil meneguk banyak-banyak minuman dari Kagami. Kagami tersenyum aneh, lalu kembali memandangku.
“Oooh, mengantar Tuan Putri.”
Dahiku berkerut, alis kiriku terangkat. Tidak mengerti dengan apa yang dimaksud Kagami. Aku tahu yang dimaksud putri di sini adalah Sora, tapi aku tidak mengerti mengapa ia menggunakan kata ‘Tuan Putri’ sebagai panggilan Sora. Sejak awal dia kenal Sora, Kagami sudah memanggilnya begitu. Hal itu membuatku penasaran sampai sekarang.
“Ayolah, kau tidak perlu pura-pura bodoh Horie! Aku tahu kau laki-laki pintar, dan tampan, sehingga banyak gadis-gadis berdebar-debar karenamu. Kau sungguh tidak tahu?” Salah satu ujung bibirnya terangkat.  Bicaranya sarkatis, seolah aku sangat bersalah, dan sangat bodoh.
Aku hanya menjawab dengan mengangkat kedua bahu. Aku semakin bingung dengan kata-katanya. Karena yang kutahu adalah, Kagami lah yang sangat populer di kelas. Mempunyai banyak teman, dan selalu mendapatkan makan siang gratis dari gadis-gadis penggemarnya. Aku lebih sering menghabiskan waktu dikelas dengan membaca buku, dari pada melakukan hal konyol seperti teman kelasku yang lain.
“Ya, ya benar sekali. Aku tahu kau tak akan menyadarinya. Karena kau selalu melihat satu orang bukan? Sang Tuan Putri!” Kagami menepuk pundakku. Meninggalkanku tanpa memandangku lagi, tangannya sempat melambai padaku. Aku memandangnya heran. Masih tidak mengerti apa yang dia maksud.
“Hoshi!” Sora memanggilku, menyuruhku ke arahnya. Aku berjalan pelan ke arahnya.
Ekspresi di wajahnya penuh semangat, walaupun saat itu matahari sedang terik-teriknya. Sora menunjuk-nunjuk salah satu pemain, yang sedang berlari dan dengan gesit membawa bola. Pemain tersebut menendang dengan luwes bola yang digiringnya, dan bola masuk ke dalam gawang. Aku melihatnya dengan wajah datar, tanpa ada rasa bahagia sedikitpun walaupun dia mewakili almamater SMA-ku sekalipun. Berbeda dengan Sora, yang berteriak-teriak hingga membuat gendang telingaku berdenging.
Sora memandang pemain tersebut dengan mata berkaca-kaca, terharu karena bahagia.
Sekalipun aku menyukai Sora, tak ada yang bisa kulakukan. Walaupun Sora belum mengatakannya padaku, tapi aku tahu, Sora menyukai Hokuto Horie─kakak laki-lakiku.

***

Pagi itu seperti biasa aku sarapan hanya dengan kopi hitam buatan ibu. Hokuto ikut bergabung bersama kami di meja makan, beberapa menit kemudian.
Hokuto berpakaian rapi, dengan wangi-wangian yang segar. Rambutnya sudah disisir dengan sangat rapi. Kencan. Semalam Sora menyelinap ke kamarku, dan mengoceh sepanjang malam, tentang rencana kencannya dengan Hokuto.
Sora dan Hokuto mulai berpacaran sejak upacara kelulusan Hokuto setahun yang lalu. Sekarang dia di sudah menjadi mahasiswa tingkat 3 di kotaku. Sedangkan aku, menunggu pengumuman Universitas Todai hari ini. Sora sudah diterima di universitas kotaku. Kencan ini mungkin hadiah dari Hokuto untuk Sora.
“Kau tidak sarapan? Hanya minum jus saja?” Ibu bertanya pada Hokuto yang hanya meneguk dengan cepat jus jeruknya. Ia menggunakan jaketnya lalu, mencium ibu.
“Aku sarapan di luar bu. Aku berangkat.”
Mataku mengikuti arah yang di tujunya, setelah Hokuto menutup pintu, aku bergegas ke atas setenang mungkin agar tidak membuat ibu heran mengapa aku bergegas ke atas. Aku berjalan ke beranda tempat ayah biasa membaca koran pagi setelah sarapan.
Aku melihat Hokuto menjemput Sora. Sora mengikat satu rambutnya di belakang dengan pita berwarna peach, dan menggunakan setelan merah yang dibelinya seminggu yang lalu denganku. Aku tidak sempat melihat wajahnya. Hatiku sakit saat aku melihat dengan jelas tangan mereka yang saling bertaut, lalu menghilang di tikungan. Sama sakitnya saat aku melihat mereka berpelukan seminggu yang lalu. Rasa sakit yang aku tidak tahu apa sebabnya.
Harapanku tidak terkabul. Seminggu yang lalu aku pergi ke universitas kotaku, bersama Sora dan Hokuto untuk melihat hasil pengumuman kelulusan Sora. Kuharap setidaknya hari ini Sora mengantarku hingga stasiun. Tapi sepertinya dia benar-benar lupa kalau aku harus ke Tokyo hari ini.
Aku segera membawa ransel dan jaketku, bersiap turun ke bawah. Ibu pasti sudah menyiapkan beberapa bekal agar bisa kumakan di kereta. Saat aku mencoba merapikan lagi rambutku, tidak sengaja aku melihat jendela kamarku. Kupandangi jendela seberang yang sedang tertutup tapi kordennya terbuka─kamar Sora. Sedikit berantakan, tapi tetap terkesan imut. Memandanginya masih memunculkan harapan bagiku, Sora akan datang kemari dengan melompati atap, lalu membantuku bersiap-siap. Seperti saat aku bergegas berangkat untuk mengikuti ujian masuk.
“Hoshi cepat sedikit! Kau bisa tertinggal kereta.” Suara ibu menyadarkanku dan aku segera mengunci jendela kamarku, bergegas turun ke bawah.
Aku tahu Sora tak akan menyelinap ke kamarku hari ini. Dia tak akan datang.

***

Aku berlari sekuat tenaga. Seperti dulu. Saat Sora menyuruhku mengayuh sepeda dengan cepat, hingga kakiku mati rasa, dan gemetar seharian. Tapi kali ini aku tidak merasa seperti itu. Kakiku tetap ingin berlari lebih cepat, lebih cepat, lebih cepat, walaupun dia tidak mampu sebenarnya. Aku tidak peduli lagi aku sedang berlari dimana, di rumah sakit sekalipun.
Saat itulah aku melihat ibuku, duduk di kursi tunggu ruang UGD. Wajahnya tertutup kedua tangannya. Begitu juga ayahku. Aku berdiri di depan mereka, mencoba mengatakan sesuatu, tapi tak ada kata yang keluar. Hanya terdengar suara isak tangis ibuku dan nafasku yang naik-turun di koridor yang tidak begitu luas, tapi juga tidak sempit. Ibuku segera memelukku. Mengatakan sesuatu yang masih tak kumengerti maksudnya.
Hokuto telah tiada. Hanya itu yang berhasil kutangkap dari semua yang dikatakan ibu. Mataku membelalak, tapi aku tidak menangis, juga masih tak ada kata yang terucap. Ayahku memandangku dengan penuh penderitaan. Ia meremas pelan bahuku.
Aku tidak dapat membayangkan bagaimana Hokuto sekarang. Yang kupikirkan hanya Sora seorang. Sora yang sejak tadi pagi bersama Hokuto, entah pergi kemana. Aku yakin benar Sora di sini sekarang, karena aku tak hanya melihat ayah dan ibuku, tapi juga bibi Sora.
“Masuklah nak.” Suruh bibi Sora. Aku mengangguk, melepas pelukan ibuku dengan selembut mungkin, agar tidak membuatnya shock atau semacamnya. Seolah mengerti ibuku justru mendorong lembut tubuhku, lalu kembali memeluk ayahku.
Aku membuka pintu ruang UGD tersebut, kulihat Sora terbaring dengan damai di ranjang rawatnya, ada perban yang menempel di dahinya. Ibunya duduk disebelah Sora, dan ayahnya berdiri di samping ibunya. Seolah mengerti aku akan datang, mereka menghampiriku, memeluk pelan pundakku dan pergi keluar kamar, memberiku waktu untukku dan Sora berdua saja. Aku duduk di tempat duduk dimana ibu Sora duduk.
Aku menyentuh tangannya dengan sangat lembut, takut-takut kalau sentuhanku melukainya. Wajahnya pucat, tapi sepertinya tidak ada luka serius di tempat lain, selain di dahinya. Aku harap benar-benar tak ada yang serius. Hokuto pasti melindunginya. Sehingga membuat Sora selamat dari tragedi maut ini.
“Hey”
Suara lembut nan lemah yang sangat familiar menyusupi gendang telingaku. Sora terbangun, wajahnya tersenyum seolah tak ada kejadian yang menimpanya. Sora memandangku lekat-lekat seperti benar-benar yakin aku akan berada di sisinya saat dia terbangun.
Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya. Sora pasti tidak tahu bagaimana keadaan Hokuto. Dan aku benar-benar bingung apa yang harus kulakukan. Bagaimana jika Sora menanyakannya? Bagaimana aku menjelaskannya? Aku tidak tahu. Aku hanya terus menggenggam tangannya, mengelus tangannya. Aku berusaha  menghindari matanya, tapi tidak berhasil. Matanya selalu berhasil membiusku. Berhasil membuatku mati rasa, dan tidak berbuat apa-apa. Matanya yang selalu tampak kuat, apapun yang terjadi. Matanya yang selalu membuatku takut.
“Hoshi, nyanyikan sebuah lagu untukku, sebait saja.”
Aku terkejut. Memperhatikan ekspresinya, yang aku tahu itu adalah ekspresi saat dia menginginkan sesuatu. Apa yang bisa kulakukan? Aku tidak pernah bisa menolaknya. Karena dia adalah Tuan Putri-ku, sekarang aku mengerti apa yang dimaksud Kagami. Aku mencoba menarik nafas dalam-dalam, mengingat-ngingat lagu apa yang paling disukai Sora.
Wherever you are, I always make you smile.
Wherever you are, I always by your side.
Whatever you say, Kimi wo omou kimochi.
I promise you ‘forever’ right now.
Sora memandangiku dengan wajah polos dan mata yang berbinar. Ia sempat terdiam, lalu sedetik kemudian ia bertepuk tangan dengan senyum khasnya, memberikanku pujian. Aku yakin sekali wajahku memerah saat ini. Mungkin hingga cuping telingaku ikut memerah. Untuk pertama kalinya aku bernyanyi, hanya untuk Sora, Sang Tuan Putri. Ia tampak senang, menghibur diri sendiri. Tak ada perasaan ingin menanyakan keadaan Hokuto, seolah dia sudah tahu dengan sendirinya.
“Hoshi, besok bawakan aku kue manju kelinci!”
Ekspresi menginginkan sesuatu lagi. Aku mengangguk. Berjanji padanya asalkan dia tidur sekarang. Aku menaikkan selimut hingga ke dagunya. Merasa bahagia dia benar-benar baik-baik saja. Bahkan aku merasa aku bertemu Sora-ku yang dulu. Sora yang kurindukan. Sora yang selalu bermanja padaku, Sora yang selalu memaksakan kehendaknya.
Aku menunggunya tertidur. Lalu aku beranjak pulang. Sekarang tugasku adalah menghibur ibu.
Aku tidak pernah tahu, bahwa langit telah memilih bintangnya sejak awal.

***

Disinilah aku.
Duduk bersimpuh di depan foto kakakku dan foto-nya, menggunakan setelan hitam-hitam, berjejer dengan ayah dan ibuku. Menatap kosong lurus ke depan. Tidak memerdulikan orang-orang yang berlalu-lalang  di depanku, bergantian memberi penghormatan terakhir kepada kakakku, dan dirinya.
Seharusnya hari ini adalah hari paling bahagia di hidupku. Keluargaku menyiapkan kue dan makanan yang lezat di meja makan. Kita berkumpul, tertawa bersama keluarganya juga, merayakan diterimanya aku di Universitas Todai.
Seharusnya begitu. Tapi tidak ada yang tahu, bahkan tidak ada yang peduli.
Setelah upacara pemakaman, aku kembali ke kamar, memandangi jendela kamarku, dan jendela kamarnya yang tertutup untuk waktu yang lama. Tak ada lagi orang yang akan membukanya setiap hari. Tidak ada lagi gadis, yang dengan berani melompat ke atapku dan menyelinap ke kamarku tanpa izin. Tidak ada lagi.
Apakah jika kamar ini bukan kamarku, aku akan tetap menjadi sahabatnya? Apakah jika aku menempati kamar kakakku, dia akan menyukaiku? Apakah dia akan mencintaiku sama besarnya seperti cintanya pada kakakku? Apakah jika kamar ini bukanlah kamarku semua ini tak akan terjadi? Kakakku tidak akan mati, dan dia tidak akan melompat dari jendela kamar rumah sakit?
Tidak. Jawabannya adalah tidak. Tidak ada yang berubah. Semuanya akan sama, karena takdir mengatakan begitu. Dia telah memilih Kakakku sebagai orang yang dicintainya. Bukan aku, sebesar apapun usahaku untuk membuatnya jatuh cinta padaku, tak akan ada yang berubah.
Kepalaku sakit, mataku sakit, seluruh badanku sakit. Aku ingin menangis, tapi tidak bisa. Yang kulakukan hanya berteriak hingga tenggorokanku perih, dan melemparkan semua benda ke arah jendela kamarku. Membuatnya pecah, dan pecahan kaca berserakan dimana-mana. Aku ingin menghancurkannya, menghancurkan jendela yang merupakan awal dari semuanya. Semua tragedi menyedihkan ini.
Saat melihat jendela, yang kubayangkan adalah dirinya yang tanpa ragu melompat dari jendela kamar rumah sakit, seolah terbang, mendekati bintang yang dia tuju. Meninggalkanku sendiri di dunia.
Sejak awal aku sadar, bukanlah dia yang membutuhkanku. Tapi aku yang sangat membutuhkannya. Aku bukanlah bintangnya, dan aku kehilangan langitku.


 Jendela-lah yang dipilihnya untuk mengakhiri semuanya.


keterangan: 
Hoshi itu artinya Bintang
Sora: Langit
Hokuto: Bintang timur :D

Udah lama aku pengen bikin tragedi yg namanya bertajuk bintang dan langit. hihihi. Terima Kasih sudah membaca ya. :D

Labels: , ,