ABOUT LINKS CHAT
about


I write to give myself strength. I write to be the characters that I am not. I write to explore all the things I'm afraid of. I write to catch my Dreams :)


Lonesome // Wednesday, February 5, 2014
9:51 AM

Aku hampir tidak mengerti arti kesepian, karena selalu ada seseorang di dekatku. Berbeda denganmu yang paling mengerti apa itu kesepian. 

***

Kita berteman dari kecil. Kau dan aku, sama-sama memiliki keluarga yang sibuk, sehingga kita harus menetap di penitipan anak sampai orang tua kita menjemput.
Saat itu, adalah hari terakhir kita di penitipan anak. Waktunya kita lulus dari penitipan karena dirasa cukup mandiri untuk tinggal dirumah, walau sendiri. Kau berwajah sedih. Seolah penitipan ini segala-galanya bagimu. Aku menghampirimu, bersama adik laki-lakiku yang umurnya hanya berjarak setahun denganku.
 “Apa yang terjadi?”
Kau mendongak, memperlihatkan dengan jelas manik cokelatmu yang sendu itu. Seolah sangat percaya padaku, kau menceritakan semuanya, bahwa jika kau tidak disini, kau akan kembali sendiri di rumah. Tanpa ada yang  menemanimu makan siang, tanpa ada yang mengajakmu bermain. Aku tidak mengerti perasaan kesepianmu saat itu, karena aku masih memiliki adikku yanng selalu bersamaku, sesibuk apapun orang tuaku.
“Kau hanya perlu makan bersama kami setiap siang.” Aku berkata dengan polosnya. Ku ulurkan tanganku, dan kuberikan senyuman terbaikku padamu. Kau balik tersenyum, lalu mengangguk. Kau menautkan jemari mungilmu ke jari-jari mungilku. Kita berjalan pulang, sambil bergandengan bertiga. Begitu polos dan naif, bahwa kehidupan tidak semudah yang kita pikirkan.
Kau yang paling mengerti arti kesepian.

***

Mereka memanggil kita ‘Anjing dan Kucing’. Selalu bertengkar disaat kita bertemu. Semua sering berawal dari keisenganmu, yang mengejekku “Si Cebol” atau “Si Culun”. Berbeda dengan pendapat teman-teman sekelas lainnya, sahabat-sahabat kita mengatakan pertengkaran adalah tanda keakraban. Aku tidak mengerti maksud mereka, kau pun begitu. Tetapi selalu ada saat-saat aku membutuhkanmu dan kau selalu ada saat aku membutuhkan seseorang di sampingku.
Seperti saat itu—saat tanpa direncanakan aku menelfonmu. Aku tidak berani mengatakan padamu bahwa aku sedang takut, kalut, dan gelisah. Yang kulakukan hanya terisak tertahan. Kau menyadari kekalutanku,menyuruhku untuk tidak menangis, dan kau berjanji akan menghampiriku. Aku cepat-cepat menutup telfon dengan perasaan malu, senang, dan khawatirkalau-kalau aku hanya salah dengar. Aku kembali duduk di ruang tunggu. Berdoa agar Tuhan mempertemukanku dengan ibu dan adik baruku yang sehat.
Saat itulah aku melihatmu. Berdiri di hadapanku dengan muka merah, dada yang naik turun karena kehabisan nafas, serta sekujur tubuh penuh salju. Kau duduk di sampingku tanpa memperhatikan ekspresiku yang  masih tidak percaya bahwa kau akan benar-benar datang.
“Tenang saja, sebentar lagi kok.” Katamu penuh keyakinan, seolah kamu tahu apa yang kurasakan, dan apa yang ada di pikiranku. Aku memelukmu, lalu menyadari betapa dinginnya tubuhmu. Aku melihat ke arah jendela dan memerhatikan salju yang turun dengan deras. Kereta pasti berhenti, dan kau harus jalan kaki melewati 3 stasiun.
Dalam hati aku merasa bersalah padamu karena menyusahkanmu, tetapi aku juga merasa sangat lega dan aman karena kau ada di sini bersamaku.
Begitu adikku lahir, kau ikut bahagia dan lega karena ibu dan adik baruku selamat dan sehat. Semenjak itu, aku merasa kau bukan hanya temanku. Tetapi juga keluargaku.
Aku hampir tidak mengerti arti kesepian, karena kau selalu ada di saat aku mulai kesepian.

***

Sampai SMA, keadaan ini tidak berubah. Aku tetap membutuhkanmu seperti dulu. Tapi aku tidak tahu apa yang kau rasakan. Apa kau membutuhkanku? Apa aku terlalu menyusahkanmu? Pikiran-pikiran buruk selalu menghantuiku. Membuatku terlalu takut, kau akan meninggalkanku.
Seerti saat itu. Aku tidak tahu apa yang membuatmu marah, dan bicara ketus padaku. Aku hanya tanpa sadar menerima ajakan teman kita saat di sekolah dasar untuk belajar bersama di perpustakaan. Aku membutuhkannya sebagai guru matematika agar aku lulus ujian perbaikan. Supaya aku tidak perlu ikut pelajaran tambahan pada liburan musim panas dan bisa menonton pertandingan baseball-mu.
Kau tidak mengerti! Kau malah dengan sengaja merangkul bahu gadis cantik berambut panjang itu di depanku. Membuatku semakin dongkol dan tidak ingin melihatmu lagi. Kita tidak saling bicara, bahkan menyapa, lebih dari seminggu. Hingga membuat sahabat-sahabat kita khawatir.
Aku pikir aku terlalu marah untuk menonton pertandingan baseball-mu. Aku tetap datang untuk melihatmu, walaupun teman-teman bertanya-tanya mengapa aku lebih memilih tempat duduk di tribun paling jauh dan paling atas, bukan di bangku paling depan seperti biasanya. Aku tidak mau tidak bisa tidur karena merasa bersalah dan menyesal aku tidak melihatmu bertanding. Tetapi aku terlalu gengsi untuk memperlihatkan diriku padamu.
Aku tidak menyangka hal itu akan terjadi padamu. Kau kalah di babak penyisihan turnamen Koushien. Padahal setiap sepulang sekolah kau berlatih dengan tekun hingga ada bekas hasil kerja keras di telapak tanganmu. Hatiku sakit, walaupun tidak sesakit dirimu yang sedang duduk di tribun penonton sendirian seusai pertandingan. Hanya beberapa teman se-timmu yang menepuk pundakmu menyuruhmu kembali bersemangat, lalu pergi.
Awalnya aku hanya berdiri beberapa meter dari tempat dudukmu, memandangmu lekat-lekat, ragu-ragu apa aku harus menghampirimu atau tidak. Tapi kuberanikan diriku untuk duduk disebelahmu, tanpa berkata apa-apa, seperti yang kau lakukan saat menemaniku yang sedang sedih. 
Kau tidak memandangku, bahkan melirikku saja tidak. Menandakan kau masih marah padaku. Aku ingin menangis, karena malu, dan kecewa. Aku beranjak pergi sampai kau menahanku dengan memegang pergelangan tanganku.
“Jangan pergi!” Pintamu dengan sungguh-sungguh, tapi pelan. Aku mencoba menatap wajahmu, walaupun tidak terlalu jelas karena mataku berkaca-kaca. Tapi aku tahu kau juga menatapku. Untuk pertama kalinya aku dan kau saling tatap satu sama lain setelah beberapa minggu. Aku kembali duduk disebelahmu, mengurungkan niatku untuk pergi. Lalu kau meletakkan kepalamu di bahu kiriku, membuatku terkejut sekaligus berdebar.
“Pinjam bahumu sebentar.” Katamu. Aku mengangguk, seolah kau butuh izinku.
Selama beberapa saat kita duduk terdiam tanpa kata-kata. Hanya terdengar suara angin yang bergesekan dengan daun, dan suara serangga musim panas yang mulai menghilang suaranya. Siang akan berganti malam. Ditandai dengan matahari yang mulai tenggelam dan langit yang berwarna jingga. Aku sempat melirikmu dan memperhatikan matamu yang terpejam,  menghayati sesuatu.
“Maafkan aku.” Kau membuka matamu. Tetapi kepalamu tetap bersandar di pundakku, matamu memandang lurus ke depan, “tidak seharusnya aku melakukan itu.” Tambahmu.
Aku ikut menyandarkan kepalaku di kepalamu. Mataku tidak terpejam, tapi aku tersenyum. “Maafkan aku juga, karena menghindarimu.”
Tanpa saling pandang, aku dan kau tertawa kecil menyadari betapa bodoh dan kekanakannya kita.
Semenjak hal itu, semua orang tahu bawa aku milikmu, dan kau milikku. Kau membutuhkanku, aku membutuhkanmu. Walaupun tak ada kata-kata yang terucap, atau status yang mengikat.
Aku terlalu naif saat berpikir aku tidak akan pernah kesepian.

***

Aku selalu berfikir kau tidak mungkin meninggalkanku—Seperti ketika aku bingung memilih universitas. Aku bertanya universitas mana yang akan akan kau pilih. Kau menjawab tanpa berpkir panjang, dan tanpa keraguan. “Universitas yang kau pilih.” Ketika itu aku merasa senang, terharu, dan juga merasa bersalah. Karena aku tahu kau menginginkan universitas kota sebelah yang memiliki jurusan fotografi lebih bagus dari universitas kota ini. Aku benar-benar mengerti, kau melakukannya karena takut aku akan kesepian.
Tapi yang kau lakukan saat ini, benar-benar membuatku kaget, dan tak berhenti bertanya-tanya. Kau menggenggam erat kedua tanganku, sambil mengatakan kau harus pergi selama beberapa bulan atau mungkin beberapa tahun untuk menjadi asisten magang dari seorang fotografer terkenal, yang menghabiskan sisa hidupnya untuk menantang bahaya dengan berkeliling dunia mengabadikan potret alam lewat karyanya. Kau mengatakannya tanpa ragu, dan mantab, walaupun aku sempat melihat ekspresi bersalah di wajahmu. Aku tahu benar beberapa minggu ini kau frustasi karena tidak segera mendapatkan pekerjaan. Sedangkan aku dengan mudahnya mendapatkan pekerjaan sebagai guru TK di dekat rumah. Karena itu kau tanpa ragu menerima pekerjaan itu walaupun harus meninggalkanku.
Aku yang paling tahu soal diriku, bahwa aku tidak boleh egois, ini menyangkut masa depanmu. Bukanlah aku yang menentukan masa depanmu. Tapi, yang kulakukan saat ini bukan merespon dengan baik apa yang sudah kau jelaskan padaku. Yang kulakukan justru hal bodoh seperti—menangis. Kau hanya menatapku nanar, penuh rasa bersalah. Berkali-kali mengucapkan kata maaf, dan janjikau pasti kembali.
Berulang kali aku meneriaki diriku dalam hati, bahwa aku harus tabah. Aku harus bisa mengerti. Aku tidak boleh egois dan kekanakan.
Aku menatapmu nanar. Memperhatikan wajahmu yang mungkin dalam waktu lama tak akan kulihat lagi. Benik coklatmu yang selalu tampak berkobar saat bersemangat, dan tampak sendu saat kau menatapku lekat-lekat. Rambutmu yang berdiri tegak, yang selalu menggelitikku saat kepalamu berbaring di pahaku. Tanganmu yang selalu dengan lembut menangkup rahangku, atau mengusap puncak kepalaku. Jemarimu yang sering sekali mencubitku dengan gemas. Lenganmu, yang selalu memelukku dengan hangat, membuatku selalu merasa aman. Semua hal yang akan kurindukan jika kau pergi nanti.
Aku mengangguk pelan ke arahmu. Kau mengusap air mataku dengan sangat lembut, seolah aku ini benda yang sangat rapuh dan mudah pecah. Wajahmu memandangku khawatir, dari ekspresimu aku tahu kau bertanya apa aku akan baik-baik saja. Aku mengangguk sekali lagi padamu.
“Aku tidak apa-apa.”
Seketika rasa takut menjalari seluruh tubuhku, saat kau melepaskan genggaman tanganmu. Membuatku merinding. Membuatku menggigil. Membuatku mengerti apa itu kesepian.
Kau menghindarkanku dari kesepian. Kau pula yang mengajariku arti kesepian.

***

Aku duduk sendirian di kursi taman—tempat kita bermain dulu. Memandangi anak-anak yang sedang bermain dengan salju. Sudah dua kali natal kulewati tanpa kehadiranmu. Aku merasa tahun ini juga kulewati tanpamu. Aku menimbang-nimbang apa yang akan kulakukan saat natal datang. Pergi ke pesta natal bersama teman-temanku? Atau bersama keluargaku?
Tahun ini aku tidak menerima satu-pun surat darimu. Aku yakin kau terlalu sibuk untuk sekedar mengirim surat. Aku tak berhak marah, karena aku bukan siapa-siapamu. Kita sudah 3 tahun tidak bertemu. Jadi, wajar saja kau menemukan orang lain di petualangan panjangmu, dan melupakanku.
Aku menyesap Americano-ku. Mencoba menghilangkan semua pikiran buruk tentangmu dari kepalaku. Mungkin aku hanya terlalu frustasi, sehingga melampiaskannya padamu. Atau mungkin karena aku terlalu marah pada diriku sendiri, yang hanya bisa berdiri di tempat, tak bisa lari darimu.
Aku menggosok mataku. menghapus air mataku sebelum mereka jatuh ke pipiku. Aku menyadari bahwa sejak tadi tangan kiriku memegang crêpe—makanan kesukaan kita, ketika masih kecil hingga remaja. Kupandangi beberapa detik crêpe yang kupegang tanpa alasan yang jelas,lalu menggigit ujungnya. Sudah tidak hangat lagi.
“Seharusnya kau beli dua.”
Aku mendongak, mengikuti asal suara yang begitu familiar di telingaku.
Kau di sana. Berdiri dengan tubuh gemetar kedinginan, menatap lurus ke arah mataku. Kedua ujung bibirmu melengkung ke atas, membentuk senyuman terbaikmu. Kulitmu lebih gelap. Tapi aku tahu itu kau, karena model rambut yang tetap seperti saat terakhir kita bertemu.
Aku segera menghambur ke pelukanmu, tanpa memikirkan crêpe yang jatuh ke tanah bersalju. Aku memelukmu erat, menghirup wangi khas tubumu yang sudah lama kurindukan. Kau membalas pelukanku juga dengan sangat erat, seolah tak ingin melepasnya lagi, menciumi bahuku, rambutku, telingaku, sehingga aku bisa dengan jelas mendengar nafasmu.
Lucu sekali. 3 tahun yang lalu, kita tidak mungkin melakukannya karena terlalu malu. Sekarang kita berpelukan tanpa ragu-ragu, di depan umum pula. Aku tidak peduli dengan orang-orang yang memperhatikan kita dengan ekspresi kaget, dan malu-malu.
“Maafkan aku,” bisikmu. Tanganmu naik ke atas—ke belakang kepalaku, mengelus rambutku, “aku sudah membuatmu kesepian seperti ini.”
Aku menggeleng, sambil menenggelamkan wajahku di dadamu, karena kusadari aku mulai terisak. “Tidak apa-apa, aku tidak kesepian.” Aku bohong.
“Kau bohong,” kau mempererat pelukanmu, “aku merindukanmu. Sangat-sangat merindukanmu.”
“Aku juga.” Jujur. Pelukanmu tidak membuatku sesak. Sebaliknya, membuatku semakin merasa aman dan nyaman.
Kau melepaskan pelukanmu perlahan. Kau dan aku bertatapan dalam diam cukup lama. Kau memandangi bola mataku lekat-lekat, begitu juga diriku, hingga aku bisa melihat bayanganku di bola matamu. Kau dan aku tertawa kecil, menyadari apa yang kita lakukan.
“Suka?” Tanyamu.
“Suka”
“Kalau aku cinta.”
Kau menciumku lembut. Bibirmu hangat, membuatku langsung terdiam dan memejamkan mataku. Kau menyentuh kedua pipiku, memperdalam ciuman pertama kita. Kita berhenti saat kita benar-benar kehabisan nafas. Aku menunduk, terlalu malu untuk menatapmu.
“Rasa crêpe.” Gumammu. Wajahmu memandangku dengan penuh keisengan. Mengingatkanku betapa isengnya dirimu dulu. Aku melayangkan tinjuku ke arah dadamu. Seperti dulu—saat kau mulai iseng padaku.
Kau menangkap tanganku dengan mudah. Merentangkan jemariku dengan lembut. Kau menyematkan sesuatu di jari manisku. Cincin emas putih berhiaskan berlian mungil di atasnya. Aku memandangmu dan cincin itu bergantian, dengan takjub sekaligus bingung.
“Menikahlah denganku.” Kau mengatakannya dengan mantab. Tanpa ada keraguan sedikitpun di matamu. Wajahmu sedikit memerah dengan ujung bibir terkatup, menandakan kau sangat gugup.
Aku menggeleng, menahan air mata bahagia keluar dari mataku. Aku menautkan jemariku dan jemarimu, mengatakan kata-kata “Baiklah,” dengan singkat.
Kau tersenyum lebar, sehingga gigi putihmu yang berderet dengan rapi terlihat dengan jelas, seolah-olah kau menahan diri untuk tidak berteriak. Kau memelukku, sambil memutar tubuhku dengan mudah. Memperlihatkan dengan jelas kebahagiaanmu, dan kebahagiaanku.
Dulu, Kau sangat mengerti arti kesepian, sedangkan aku hampir tidak tahu bagaimana rasanya kesepian, karena kau selalu ada di saat aku kesepian. Aku terlalu naif saat berpikir aku tidak akan pernah kesepian. Sampai kau pula yang mengajariku arti sebuah kesepian.  Tapi, aku selalu tahu, bahwa kesepianku akan hilang, jika aku bersamamu.

***


Fanfiction ini terinspirasi dari tokoh-tokoh, dan cerita  karya bu Ono Eriko, yaitu Kocchimuite Miiko! :D 
picture owner: here

Labels: , , ,