apologize // Friday, February 21, 2014
8:08 PM |
“Kau normal kan?”
Aku meletakkan komik yang kubaca. Setelah
dua kali pertanyaan yang sama kujawab dengan anggukkan, akhirnya aku tidak
tahan mendengar ocehannya. Matanya menatapku penasaran, bingung, sekaligus
khawatir. Tangannya memegangi tanganku. Bersiap-siap mencubitku jika aku
mengalihkan perhatian lagi.
Aku benar-benar heran mengapa ia
begitu penasaran dengan diriku. Biasanya dia hanya gadis egois yang hampir
setiap saat menghampiriku, bercerita padaku soal pria yang disukainya, atau masalah-masalah lainnya, dia selalu
Meminta solusi dariku. Sedangkan aku hanya berkata sekenanya karena jujur saja
aku tidak pernah punya pengalaman yang sama dengannya. Masalah rumah tangga
antara keluarga mungkin masih bisa kuberi solusi sedikit, tidak banyak karena
aku tidak sebijak Mario Teguh. Soal cinta? Pacaran saja belum pernah. Dulu
mungkin hampir—tapi benar-benar tidak bisa berjalan dengan baik.
“Ya.”
Dia menunduk, menghela nafas
banyak-banyak. Seolah dia berada di ruang interogasi, lalu interogasinya
selesai dengan hasil yang memuaskan. Seharusnya aku yang merasa di interogasi
kali ini. Dia benar-benar
berlebihan.
Aku memang tidak percaya cinta pada
pandangan pertama. Tapi bukannya aku tidak percaya cinta. Aku juga normal,
bukannya menyukai sesama jenis seperti yang dia takutkan. Buktinya aku masih sangat
menyukai cowok-cowok tampan dari negeri sakura dan negeri ginseng. Aku memang
tomboi dan terkenal cuek saat berurusan dengan cinta. Aku hanya ingin memiliki
banyak teman laki-laki. Itu saja. Urusan pacaran, atau jodoh, kuserahkan pada
Tuhan. Aku tidak seperti dia, cantik, pintar, anggun, dan manis, membuat banyak
pria tergila-gila padanya, walaupun selalu berakhir dramatis.
“Apa kau punya
seseorang yang kau sukai?”
Dia menyeruput
milk shake-nya. Matanya teralih sebentar lalu kembali memandangku. Aku berfikir
matang-matang apa yang harus ku katakan. Dia curiga. Dia tidak bisa
bohong padaku, bukan berarti aku tidak bisa bohong padanya. Dia selalu percaya kata-kataku, seolah tak ada lagi orang
yang ia percayai di dunia ini selain aku.
“Tidak. Untuk saat ini, tidak.”
Matanya
melihat ke mataku mencari-cari kebenaran di pancaran mataku. Ia menghela nafas
berat, lalu kembali menyeruput milk shake-nya. Matanya tak memandangku lagi. Dia pasti kecewa dengan jawabanku.
“Benarkah?”
Dia bertanya
lagi seolah tidak yakin. Tetapi bisa menebak apa yang akan kujawab. Dia
berwajah penuh harap, berharap aku mengatakan yang sebenarnya padanya. Dia
berwajah khawatir, khawatir aku tak mengandalkannya. Perasaan bersalah menjalari
seluruh tubuhku hanya dengan waktu sepersekon
detik.
“Benar”
Aku tetap berbohong. Aku tidak bermaksud untuk
berbohong. Tetapi bukan waktunya untuk menceritakannya.
Kau tahu ‘Dia’, tetapi kau tidak mengenal ‘dia’,
seperti aku mengenal-'nya'.
Cerita yang dibuat untuk iseng-iseng aja. Terimakasih sudah membaca :)
Labels: ceritaku, My Story, stories, Words |